WACANA REKONSILIASI NU DAN PKI TAHUN 1999 – 2006

 

Trutus.Com, Tahun 1965 merupakan periode yang sangat pelik dan amat membekas bagi mental bagi masyarakat Indonesia, pun periode setelahnya. Pasalnya, terjadi pembunuhan besar-besaran yang di tataran daerah maupun nasional. Hal itu karena isu adanya ‘coup yang dilakukan oleh segelintir orang di Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa tersebut terjadi pada 30 September – 1 Oktober 1965 yang ditandai oleh terbunuhnya 6 jenderal Angkatan Darat dan 1 perwira pertama di lubang buaya yang mendapatkan gelar Pahlawan Revolusi dan dinaikan satu tingkat secara Anumerta Keputusan Presiden No. 111/KOTI/1965.

Peristiwa tersebut memang sangatlah monumental bagi sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Akan tetapi, publik gagal menyorot kejadian setelahnya. Padahal, kejadian setelahnya itulah yang memberikan dampak lebih besar bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia. Bahwasannya, selain pembunuhan perwira militer tersebut dan beberapa peristiwa pembunuhan lainnya, terdapat hilanynya nyawa ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI, puluhan ribu orang ditahan tanpa proses pengadilan, banyak anggota keluarga yang tercerai-berai, dampak bagi pendidikan dan pengetahuan yang tidak objektif, kesempatan berkarya di bidang kesenian dan kesusastraan serta mengungkapkan pendapat yang dibatasi.

Partai Komunis Indonesia sebelumnya memiliki keterlibatan yang aktif dalam kontestasi perpolitikan di Indonesia. Terbukti pada masa Demokrasi Parlementer pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap pemilu pertama pada tahun 1955 terjadi. Saat itu, PKI mengantongi suara yang cukup besar. Mereka menjadi pemenang posisi nomer 4 diantara pemenang partai besar yang lain. Pada kondisi sosial politik Indonesia selanjutnya, PKI semakin berkembang dan diaspadai oleh partai atau kelompok lain.


Keterkaitan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah sama-sama sebagai rival politik. NU pada saat itu sempat menjadi Partai Politik yang memisahkan diri dari Masyumi. Keterkaitan lain adalah NU dan PKI masuk dalam agenda yang digencarkan oleh Soekarno dalam Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) guna mengkolaborasikan kekuatan-kekuatan yang meakili masing-masing kelompok di Indonesia. Selain Masyumi, NU dengan PKI mewakili kelompok Agama dan Komunis.

Sebelumnya, Hubungan NU dan PKI cukup memanas saat terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang menewaskan banyak Kyai dan orang-orang NU. Hubungan ini kembali memanas saat kejadian Gestapu atau Gestok 1965. Kejadian itu membuat geram berbagai golongan dari NU. Bahkan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pun menginstruksikan kepada golongannya melalui “Resolusi Mengutuk Gestapu” tertanggal 5 Oktober 1965, dengan beberapa tuntutan antara lain: menuntut pembubaran PKI, mencabut izin penyiaran bagi yang mengatasnamakan Gerakan 30 September, serta menyerukan kepada segenap umat Islam dan gerakan revolusioner lainnya agar mendukung usaha penertiban seputar gerakan 30 September.

Pada 1965-1966, Upaya menjalankan Resolusi dari PBNU di gelorakan oleh underbow anak organisasi-organisasi NU. Secara basis massa, underbow NU yang paling aktif menggelorakan resolusi ini ialah Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan Subhan ZE secara individu. Pada saat itu, GP Ansor sangatlah kuat yang berisikan pemuda-pemuda revolusioner dan sangat vis a vis dengan PKI akibat traumatik masa lalu yang disebabkan oleh pemberontakan PKI. Berbeda dengan pimpinan NU yang terdiri dari para Kiai dan sepuh panutan masyarakat NU yang lebih akomodatif terhadap isu PKI, mereka cenderung lebih berhati-hati dalam memutuskan hal menanggapi isu ini. Entah keteledoran, atau memang sikap keras dari para punggawa NU, yang pasti hal tersebut membawa NU kepada sejarah kelam bangsa Indonesia. 

Konflik NU dengan PKI keduanya sama-sama mendapatkan dampak yang signifikan. eks anggota PKI memiliki korban terbanyak pada periode pasca ’65. Mereka menjadi tahanan politik, keterbatasan kesempatan mengakses fasilitas, diskriminasi sosial dan lain sebagainya. Bahkan dampaknya masih dapat mereka rasakan hingga saat ini berkenaan dengan stereotip buruk dari masyarakat. Sedangkan NU juga menjadi korban dalam hal ini. Benturan golongan NU dengan PKI menewaskan beberapa pemuda NU yang melakukan konfrontasi. NU sempat terpecah menjadi dua golongan, para kiai sepuh dan pimpinan NU dekat dengan Soekarno yang merepresentasikan demokrasi terpimpin yang menggaungkan skema Nasakom, sedangkan di sisi lain beberapa masyarakat NU terlibat dalam aksi penggulingan rezim Soekarno dan penumpasan PKI.

Pada masa Orde Baru, publik mempertahankan Gerakan 30 September 1965 merupakan ulah sepihak dari PKI yang di pelihara oleh penguasa. Namun, pasca tumbangnya rezim ini, publik semakin terbuka untuk menyelediki kepingan-kepingan sejarah yang berserakan prahara 1965. Pergantian presiden selanjutnya, KH Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur dengan masa jabatan tahun 1999 – 2001, membuka suara untuk meminta maaf kepada eks anggota PKI atas peristiwa masa lalu. Mengutip dari merdeka.com Sastro Al Ngatawi (asisten pribadi Gus Dur) menyatakan bahwa Gus Dur meminta maaf atas nama PBNU, setelah Ia bertemu dengan Pramodya Ananta Toer (sastrawan).

Gus Dur merupakan panutan dan intelektual NU, sehingga cara gus dur merespon kondisi masa lalu dan menawarkan upaya rekonsiliasi ditanggapi oleh masyarakat NU dengan baik. Saat masih menjadi presiden, Gus Dur pun berupaya akan mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 Tentang Pelarangan Komunisme dsb, karena di duga tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila, serta mendiskriminasikan eks anggota PKI. Akan tetapi, upaya ini langsung mendapat banyak reaksi keras dari berbagai pihak, antara lain: Golongan Karya (Golkar), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra, mengatakan bahwa bukan pemerintah yang memiliki wewenang mencabut TAP tersebut, melainkan MPR. Rencana pencabutan TAP inilah yang dibangun dalam konsolidasi menjelang Sidang Istimewa dengan isu Gus Dur berada dalam genggaman komunis.

Setelah Gus Dur jatuh, upaya rekonsiliasi akar rumput tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sebenarnya, rekonsiliasi model ini sudah terjadi jauh sebelum Rekonsiliasi Gus Dur diungkapkan secara terang-terangan sebagai presiden. Rekonsiliasi alamiah itu terjadi saat proses perburuan terhadap eks anggota PKI dilakukan oleh aparatus represif negara (RSA) atau Angkata Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang dilakukan dari tataran nasional maupun lokal. Para Kyai dan Ummat NU melindungi eks anggota PKI dan memberikan rumah serta fasilitas untuk bekerja seadanya. Setidaknya hal itu lebih baik karena mereka sangat sulit mendapatkan pekerjaan di luar sana. Rekonsiliasi ini terus berlanjut hingga reformasi terlahir.

Rekonsiliasi antara NU dengan PKI dapat dikatakan berhasil di tataran akar rumput namun gagal di tataran atas (birokrasi). TAP MPRS No. XXV/1966 kembali ditegaskan secara sekilas melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003. Pada pasal 2 ayat 1 TAP MPR No. 1 tahun 2003 menyinggung pemberlakuan kembali TAP MPRS No. XXV/1966 yang sempat lemah nilai hukumnya.

Kemudian pada tahun 2004, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi sebagai kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia guna menentukan langkah kongkret mengenai pengungkapan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Selain itu UUKKR juga didasarkan pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

Melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 ini pemerintah membentuk sebuah lembaga atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengatur proses mengenai: 1. pengungkapan kebenaran; 2. pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; dan 3. pertimbangan amnesti, yang semua ini diharapkan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi dan persatuan nasional. Upaya ini memberikan angin segar kepada Non Govermental Organization (NGO) antara lain ELSAM, Kontras, SNB, Imparsial, LPKP 65, LPR-KROB, dan pengajuan lain secara perorangan, serta kepada masyarakat yang terdampak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, khusunya eks anggota PKI karena peristiwa kelam yang mereka alami akan kembali di ungkapkan, namun kini dengan tujuan perbaikan nasional. Pengungkapkan kebenaran ini diupayakan agar tidak ada yang dipalsukan atau ditutup-tutupi.  

Selang 2 tahun disahkannya peraturan ini, angin lebih keras menerjang dari atas. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan Putusan no. 006/PUU-IV/2006 yang isinya adalah membatalkan pengesahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini dengan dalih tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945..

Putusan tersebut juga mengungkapkan bahwa UU KKR berbeda secara substansial sebagaimana di atur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. MK mengungkapkan bahwa hukum Internasional menganggap segala jenis pelanggaran kemanusiaan, dalam hal ini genosida merupakan musuh seluruh umat manusia dan tidak merepresentasikan komunitas dan bangsa yang beradab. Maka Indonesia sebagai negara yang beradap tentu perlu menganggap hal serupa. MK juga mengungkapkan bahwwa UU KKR tidak mengatur proses hukum suatu pelanggaran, namun mengungkapkan kebenaran dan pemberian amnesti semata. Selain itu peraturan tersebut tidak mengatur proses hukum, hal inilah yang menjadikan MK membatalkan UU KKR yang sudah disahkan.

Penulis : Syifa Surya Ukasyah

Publisher : Hadi Pranoto

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar